8 Eksperimen Psikologis Terburuk dalam Sejarah Sains |
Demi kemajuan bidang psikologi, segala cara dihalalkan
Sebelum antagonis pada film Avengers, Thanos, melenyapkan setengah populasi alam semesta, ia pernah berkata:
Dengan kata lain, pengorbanan adalah hal kecil untuk sesuatu yang lebih besar.
Hal tersebut juga dianggap lumrah terjadi dalam dunia ilmiah, termasuk psikologi. Banyak eksperimen yang mengatasnamakan kemanusiaan dan kemajuan untuk perkembangan psikologis manusia yang lebih sempurna.
Alih-alih kesuksesan dan popularitas, atas nama kemanusiaan juga, eksperimen tersebut dipandang sebagai sebuah kejahatan yang menjijikkan. Lagipula, mayoritas eksperimen tersebut berakhir dalam kegagalan atau tidak berpengaruh signifikan pada peradaban manusia.
Siapkan hatimu, inilah delapan eksperimen terkeji yang pernah terjadi di masa lampau.
8. Eksperimen Milgram
Pada 1961, profesor jurusan psikologi sosial Yale University, Stanley Milgram, memulai sebuah eksperimen tak masuk akal ini.
Terinspirasi oleh salah satu perwira Nazi dan penggagas kamp konsentrasi, Adolf Eichmann, Milgram ingin mencari tahu apakah seseorang akan melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani mereka jika diperintah oleh seseorang yang lebih tinggi posisinya.
Dalam percobaan tersebut, Milgram melibatkan tiga orang yang dibagi perannya menjadi "eksperimenter dengan otoritas", "guru", dan "murid". Sang "guru" - yang dipisahkan dari sang "murid" dan diperintahkan untuk patuh pada "eksperimenter" - mengajarkan pada sang "murid" beberapa pasangan kata.
Hukuman bagi tiap jawaban yang salah adalah daya kejut listrik imaginatif yang diterima sang "murid" dari sang "guru". Sang "murid" pun berpura-pura tersetrum.
Walaupun daya kejut ini hanya pura-pura, etika eksperimen Milgram ditentang oleh masyarakat karena tekanan psikologis terhadap para peserta eksperimen.
Beginilah bentuk eksperimen Milgram waktu itu:
7. Little Albert
Melakukan eksperimen pada anak-anak tidak pernah dibenarkan walaupun atas dasar kemanusiaan. Hal ini terjadi pada eksperimen "Little Albert" pada 1920.
Seorang psikologis bernama John B. Watson dari Johns Hopkins University tanpa merasa bersalah melakukan percobaan kepada seorang bayi yang masih lugu. John ingin mencari tahu apakah ketakutan seorang bayi pada sesuatu yang normal dapat dikaitkan dengan trauma masa kecil.
Jadi, John melibatkan seorang bayi berumur delapan bulan bernama Albert. Kemudian ia memaparkan Albert pada sejumlah objek seperti monyet, kelinci, anjing, dan tikus kecil yang lucu. Albert tentu saja tidak merasa takut pada hewan-hewan tersebut.
John kemudian memulai eksperimennya. Saat ingin menyentuh tikus tersebut, Watson tiba-tiba memukul sebuah besi hingga suaranya membuat bayi Albert ketakutan dan menangis. Hal tersebut ia lakukan setiap Albert akan menyentuh tikus itu.
Hasilnya? Saat Albert dipertemukan kembali dengan tikus yang sama, ia ketakutan setengah mati hingga meronta-ronta serta menjauh dari tikus tersebut. Dengan kata lain, John berhasil membuat Albert takut pada seekor tikus karena ketakutannya terhadap suara nyaring.
Parahnya, John melakukan eksperimen tersebut bukan hanya pada reaksi Albert terhadap tikus, melainkan pada objek lainnya!
Permasalahan pada eksperimen ini kembali pada etika eksperimen. John tidak memikirkan efek jangka panjang yang diderita Albert kecil yang mengalami trauma sejak kecil pada hal-hal yang biasa saja.
6. Eksperimen Penjara Stanford
Pada Agustus 1971, profesor psikologi asal Stanford University, Philip Zimbardo, memutuskan untuk menguji teori bahwa konflik dan perlakuan tidak menyenangkan antara sipir penjara dan narapidana sejatinya berasal dari kepribadian masing-masing.
Zimbardo dan timnya mendirikan "penjara" di gedung psikologi Stanford dan melibatkan 24 sukarelawan yang berperan sebagai "narapidana" atau "sipir". Lalu, mereka diberikan pakaian sesuai dengan peran mereka. Sementara, Zimbardo berperan sebagai "inspektur pengawas".
Ketika Zimbardo mendorong para sipir menciptakan "sensasi ketidakberdayaan" di antara para narapidana bohongan, hal-hal menjadi tidak terkendali. Sekitar empat sipir menunjukkan perilaku sadis.
Para narapidana ditelanjangi dan dipermalukan, ditelantarkan dalam kondisi tidak sehat dan dipaksa untuk tidur di lantai beton. Salah satu napi dikunci di dalam lemari karena tidak mematuhi sang "sipir".
Apakah Zimbardo kemudian menghentikan eksperimennya? Tidak! Zimbardo malah ikut terbawa suasana sehingga tidak sadar akan akibatnya.
Setelah enam hari eksperimen, pacar Zimbardo, Christina Maslach, memintanya menghentikan eksperimen tersebut. Sebelumnya, Zimbardo berencana untuk melakukan eksperimen tersebut selama dua minggu.
Zimbardo mencatat, dari lebih dari 50 orang yang menyaksikan eksperimen tersebut, hanya Maslach yang mempertanyakan moralitasnya.
Kendati dihentikan, lima dari "narapidana" mengalami trauma emosional.
Setelah kejadian eksperimen Zimbardo, lembaga psikologi terkemuka di Amerika Serikat, American Psychology Association (APA), kemudian menciptakan pedoman yang mengatur etika percobaan ilmiah terhadap manusia.
Eksperimen ini juga kemudian menginspirasi sebuah film berjudul "The Stanford Prison Experiment" yang ditayangkan pada 2015. Berikut cuplikan trailer dari film tersebut.
5. Terapi homoseksual
"Homoseksualitas adalah penyakit yang dapat disembuhkan"
Sedari dulu, terapi aversi untuk "menyembuhkan" homoseksualitas adalah salah satu subyek penelitian yang paling terkenal di beberapa universtias.
Faktanya, di Inggris, sebelum 1967, homoseksualitas adalah kejahatan; siapapun yang kedapatan mengidap homoseksualitas dapat diganjar kurungan badan hingga 10 tahun.
Sesuai namanya, terapi aversi menghubungkan perilaku yang tidak dikehendaki dengan situasi yang tidak menyenangkan. Setiap kali perilaku yang tidak dikehendaki itu muncul, situasi yang tak menyenangkan digunakan sebagai kontrol perilaku. Diharapkan, dengan begitu, subyek dapat "sembuh".
Namun, ada salah satu eksperimen yang keji dan tak masuk akal yang dimuat pada British Medical Journal pada 1967. Ekperimen tersebut melibatkan 43 pria penyuka sesama jenis yang diuji oleh M. J. MacCulloch dan M. P. Feldman di Crumpsall Hospital, Manchester.
Para pria penyuka sesama jenis tersebut dipaparkan pada foto-foto pria. Mereka diperintahkan untuk tetap "menikmati" gambar-gambar tersebut selama mungkin. Namun, setelah delapan detik "menikmati" foto-foto tersebut, para peserta eksperimen kemudian disetrum.
Lalu, para penguji memperlihatkan foto-foto wanita yang pastinya tidak menarik minat para pria penyuka sesama jenis tersebut. Namun, para peserta boleh memandangi foto-foto tersebut tanpa takut akan dihukum.
MacCulloch dan Feldman mengklaim bahwa penelitian mereka sukses dalam "menyembuhkan" pasien mereka. Namun, alih-alih menyembuhkan, penelitian tersebut dinilai tidak efektif dan berbahaya oleh APA pada 1994.
4. Percobaan narkoba pada kera
Pada 1969, tiga peneliti dari University of Michigan Medical School, G. A. Deneau, T. Yanagita, dan M. H. Seevers, melanggar etika saat eksperimen mereka melibatkan kera dalam meneliti aspek psikologis pada ketergantungan narkoba.
Ketiga peneliti dengan sembarangan menyuntikkan kera-kera tersebut dengan berbagai zat terlarang seperti kokain, amfetamin, morfin, dan alkohol. Hal ini bertujuan untuk melihat akankah kera-kera tersebut ketagihan pada psikoaktif dan zat berbahaya lainnya.
Para peneliti kemudian mengklaim bahwa terdapat hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan ketergantungan psikologis. Namun, mereka menutup penelitian tersebut dengan menyatakan bahwa hasilnya tidak dapat disamakan dengan manusia. Eksperimen tersebut dipertanyakan nilai ilmiahnya.
Terlebih lagi, etika dan metode penelitian dianggap tidak manusiawi dan beretika.
3. Eksperimen schizophrenia UCLA
Pada 1983, pasangan psikolog dan psikiater dari UCLA Medical Center, Keith H. Nuechterlein & Michael Gitlin, mengadakan sebuah penelitian kontroversial mengenai skizofrenia.
Para peneliti UCLA tersebut ingin melihat proses kambuhnya skizofrenia dan mencari tahu apakah ada indikator untuk memprakirakan psikosis. Dengan tujuan penelitian ini, Keith dan Michael melibatkan ratusan orang dalam program ini dan menyita pengobatan skizofrenia mereka.
Meskipun berpengaruh besar pada penelitian skizofrenia dan mengungkap efek samping obat skizofrenia, penelitian tersebut dikritik tidak memberi perlindungan yang cukup kepada pasien saat gejala skizofrenia kambuh. Penelitian tersebut juga terkesan "menggantung" karena tidak memberitahu kapan pasien harus dirawat lagi.
Kasus ini semakin memburuk pada 1991 saat seorang mantan sukarelawan program UCLA, Antonio Lamadrid, bunuh diri dengan melompat dari lantai sembilan. Kematian Lamadrid disalahkan pada Keith dan Michael yang seharusnya mengawasi Lamadrid.
2. The Third Wave
"Mengapa peristiwa Holocaust bisa terjadi?"
Di masanya, pertanyaan ini adalah sesuatu yang tabu. Pada 1967 - 22 tahun setelah usainya PD II - Ron Jones, seorang guru di Cubberley High School yang terletak di Palo Alto, mendapat pertanyaan tersebut di satu kelas.
Daripada menjelaskannya, Jones berpikir akan lebih baik jika ditunjukkan saja. Maka terjadilah eksperimen yang dikenal dengan The Third Wave berikut ini
Pada hari pertama eksperimennya, Jones menciptakan nuansa otoriter di kelasnya seraya memposisikan dirinya sebagai seorang "pemimpin tertinggi". Namun, setelah satu minggu berjalan, paham fasisme ala-ala Jones meluas hingga satu sekolah.
Para murid menciptakan lambang dan gerakan hormat sendiri yang mirip dengan Nazi. Mereka kemudian diajarkan untuk patuh pada perintah Jones sehingga meninggalkan paham demokrasi. Bahkan, para murid bisa saling tuduh menuduh dan lapor satu sama lain.
Diberi nama "The Third Wave", ideologi Jones tersebut menyebar luas dari 30 murid menjadi 200. Di hari ke-4, Jones khawatir gerakan tersebut akan tidak terkendali; sehingga, ia menghentikan eksperimen tersebut.
Di akhir eksperimen pada hari ke-5, Jones kemudian menjawab pertanyaan seorang murid tersebut bahwa mereka telah membangkitkan perasaan supremasi yang sama seperti warga Jerman di bawah rezim Nazi.
Untungnya, para murid tidak menjadi sadis dan brutal. Cuplikan video berikut adalah apa yang terjadi pada "The Third Wave". Menariknya, video ini disutradarai oleh murid yang dulu tergabung dalam gerakan tersebut!
1. Insiden Bruce "David" Reimer
Setelah prosedur sunat yang gagal saat berumur enam bulan, seorang pria Kanada bernama Bruce Reimer harus menjalani prosedur "pengubahan identitas" yang "membunuhnya perlahan" bersama John Money, profesor psikologi medis dan pediatri Johns Hopkins University.
John adalah penggagas teori "netralitas gender". Eksperimen di luar akal terakhir ini juga dilakukan untuk membuktikan bahwa identitas gender adalah produk pengajaran dari usia dini.
Walaupun alat kelamin Reiner tidak dapat diperbaiki, John menyarankan Bruce untuk menjalani operasi kelamin dan membiasakan dirinya menjadi seorang perempuan. Pada 1967, Bruce memulai terapi yang membuatnya berubah menjadi "Brenda".
Meskipun program tersebut berjalan mulus selama sepuluh tahun, Bruce tidak bisa menganggap dirinya sebagai seorang wanita.
Alhasil, sejak berumur 14 tahun, ia hidup tetap menjadi seorang laki-laki. Dari Brenda, Bruce mengubah namanya menjadi David. Sebetulnya, ia dapat menjalani operasi kelamin untuk mengembalikan dirinya menjadi seorang laki-laki.
Program bersama John Money terbukti tidak efektif dan berakhir pada kegagalan yang amat fatal.
Pada 2004, Bruce "David" Reimer dikabarkan bunuh diri dikarenakan tekanan depresi ekstrim hasil dari eksperimen tersebut. Bersamaan dengan kematian David, nama John Money ikut tercemar dan teorinya ikut menghilang bersamanya.
Sebelum antagonis pada film Avengers, Thanos, melenyapkan setengah populasi alam semesta, ia pernah berkata:
Dengan kata lain, pengorbanan adalah hal kecil untuk sesuatu yang lebih besar.
Hal tersebut juga dianggap lumrah terjadi dalam dunia ilmiah, termasuk psikologi. Banyak eksperimen yang mengatasnamakan kemanusiaan dan kemajuan untuk perkembangan psikologis manusia yang lebih sempurna.
Alih-alih kesuksesan dan popularitas, atas nama kemanusiaan juga, eksperimen tersebut dipandang sebagai sebuah kejahatan yang menjijikkan. Lagipula, mayoritas eksperimen tersebut berakhir dalam kegagalan atau tidak berpengaruh signifikan pada peradaban manusia.
Siapkan hatimu, inilah delapan eksperimen terkeji yang pernah terjadi di masa lampau.
8. Eksperimen Milgram
Pada 1961, profesor jurusan psikologi sosial Yale University, Stanley Milgram, memulai sebuah eksperimen tak masuk akal ini.
Terinspirasi oleh salah satu perwira Nazi dan penggagas kamp konsentrasi, Adolf Eichmann, Milgram ingin mencari tahu apakah seseorang akan melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani mereka jika diperintah oleh seseorang yang lebih tinggi posisinya.
Dalam percobaan tersebut, Milgram melibatkan tiga orang yang dibagi perannya menjadi "eksperimenter dengan otoritas", "guru", dan "murid". Sang "guru" - yang dipisahkan dari sang "murid" dan diperintahkan untuk patuh pada "eksperimenter" - mengajarkan pada sang "murid" beberapa pasangan kata.
Hukuman bagi tiap jawaban yang salah adalah daya kejut listrik imaginatif yang diterima sang "murid" dari sang "guru". Sang "murid" pun berpura-pura tersetrum.
Walaupun daya kejut ini hanya pura-pura, etika eksperimen Milgram ditentang oleh masyarakat karena tekanan psikologis terhadap para peserta eksperimen.
Beginilah bentuk eksperimen Milgram waktu itu:
7. Little Albert
Melakukan eksperimen pada anak-anak tidak pernah dibenarkan walaupun atas dasar kemanusiaan. Hal ini terjadi pada eksperimen "Little Albert" pada 1920.
Seorang psikologis bernama John B. Watson dari Johns Hopkins University tanpa merasa bersalah melakukan percobaan kepada seorang bayi yang masih lugu. John ingin mencari tahu apakah ketakutan seorang bayi pada sesuatu yang normal dapat dikaitkan dengan trauma masa kecil.
Jadi, John melibatkan seorang bayi berumur delapan bulan bernama Albert. Kemudian ia memaparkan Albert pada sejumlah objek seperti monyet, kelinci, anjing, dan tikus kecil yang lucu. Albert tentu saja tidak merasa takut pada hewan-hewan tersebut.
John kemudian memulai eksperimennya. Saat ingin menyentuh tikus tersebut, Watson tiba-tiba memukul sebuah besi hingga suaranya membuat bayi Albert ketakutan dan menangis. Hal tersebut ia lakukan setiap Albert akan menyentuh tikus itu.
Hasilnya? Saat Albert dipertemukan kembali dengan tikus yang sama, ia ketakutan setengah mati hingga meronta-ronta serta menjauh dari tikus tersebut. Dengan kata lain, John berhasil membuat Albert takut pada seekor tikus karena ketakutannya terhadap suara nyaring.
Parahnya, John melakukan eksperimen tersebut bukan hanya pada reaksi Albert terhadap tikus, melainkan pada objek lainnya!
Permasalahan pada eksperimen ini kembali pada etika eksperimen. John tidak memikirkan efek jangka panjang yang diderita Albert kecil yang mengalami trauma sejak kecil pada hal-hal yang biasa saja.
6. Eksperimen Penjara Stanford
Pada Agustus 1971, profesor psikologi asal Stanford University, Philip Zimbardo, memutuskan untuk menguji teori bahwa konflik dan perlakuan tidak menyenangkan antara sipir penjara dan narapidana sejatinya berasal dari kepribadian masing-masing.
Zimbardo dan timnya mendirikan "penjara" di gedung psikologi Stanford dan melibatkan 24 sukarelawan yang berperan sebagai "narapidana" atau "sipir". Lalu, mereka diberikan pakaian sesuai dengan peran mereka. Sementara, Zimbardo berperan sebagai "inspektur pengawas".
Ketika Zimbardo mendorong para sipir menciptakan "sensasi ketidakberdayaan" di antara para narapidana bohongan, hal-hal menjadi tidak terkendali. Sekitar empat sipir menunjukkan perilaku sadis.
Para narapidana ditelanjangi dan dipermalukan, ditelantarkan dalam kondisi tidak sehat dan dipaksa untuk tidur di lantai beton. Salah satu napi dikunci di dalam lemari karena tidak mematuhi sang "sipir".
Apakah Zimbardo kemudian menghentikan eksperimennya? Tidak! Zimbardo malah ikut terbawa suasana sehingga tidak sadar akan akibatnya.
Setelah enam hari eksperimen, pacar Zimbardo, Christina Maslach, memintanya menghentikan eksperimen tersebut. Sebelumnya, Zimbardo berencana untuk melakukan eksperimen tersebut selama dua minggu.
Zimbardo mencatat, dari lebih dari 50 orang yang menyaksikan eksperimen tersebut, hanya Maslach yang mempertanyakan moralitasnya.
Kendati dihentikan, lima dari "narapidana" mengalami trauma emosional.
Setelah kejadian eksperimen Zimbardo, lembaga psikologi terkemuka di Amerika Serikat, American Psychology Association (APA), kemudian menciptakan pedoman yang mengatur etika percobaan ilmiah terhadap manusia.
Eksperimen ini juga kemudian menginspirasi sebuah film berjudul "The Stanford Prison Experiment" yang ditayangkan pada 2015. Berikut cuplikan trailer dari film tersebut.
5. Terapi homoseksual
"Homoseksualitas adalah penyakit yang dapat disembuhkan"
Sedari dulu, terapi aversi untuk "menyembuhkan" homoseksualitas adalah salah satu subyek penelitian yang paling terkenal di beberapa universtias.
Faktanya, di Inggris, sebelum 1967, homoseksualitas adalah kejahatan; siapapun yang kedapatan mengidap homoseksualitas dapat diganjar kurungan badan hingga 10 tahun.
Sesuai namanya, terapi aversi menghubungkan perilaku yang tidak dikehendaki dengan situasi yang tidak menyenangkan. Setiap kali perilaku yang tidak dikehendaki itu muncul, situasi yang tak menyenangkan digunakan sebagai kontrol perilaku. Diharapkan, dengan begitu, subyek dapat "sembuh".
Namun, ada salah satu eksperimen yang keji dan tak masuk akal yang dimuat pada British Medical Journal pada 1967. Ekperimen tersebut melibatkan 43 pria penyuka sesama jenis yang diuji oleh M. J. MacCulloch dan M. P. Feldman di Crumpsall Hospital, Manchester.
Para pria penyuka sesama jenis tersebut dipaparkan pada foto-foto pria. Mereka diperintahkan untuk tetap "menikmati" gambar-gambar tersebut selama mungkin. Namun, setelah delapan detik "menikmati" foto-foto tersebut, para peserta eksperimen kemudian disetrum.
Lalu, para penguji memperlihatkan foto-foto wanita yang pastinya tidak menarik minat para pria penyuka sesama jenis tersebut. Namun, para peserta boleh memandangi foto-foto tersebut tanpa takut akan dihukum.
MacCulloch dan Feldman mengklaim bahwa penelitian mereka sukses dalam "menyembuhkan" pasien mereka. Namun, alih-alih menyembuhkan, penelitian tersebut dinilai tidak efektif dan berbahaya oleh APA pada 1994.
4. Percobaan narkoba pada kera
Pada 1969, tiga peneliti dari University of Michigan Medical School, G. A. Deneau, T. Yanagita, dan M. H. Seevers, melanggar etika saat eksperimen mereka melibatkan kera dalam meneliti aspek psikologis pada ketergantungan narkoba.
Ketiga peneliti dengan sembarangan menyuntikkan kera-kera tersebut dengan berbagai zat terlarang seperti kokain, amfetamin, morfin, dan alkohol. Hal ini bertujuan untuk melihat akankah kera-kera tersebut ketagihan pada psikoaktif dan zat berbahaya lainnya.
Para peneliti kemudian mengklaim bahwa terdapat hubungan antara penyalahgunaan narkoba dengan ketergantungan psikologis. Namun, mereka menutup penelitian tersebut dengan menyatakan bahwa hasilnya tidak dapat disamakan dengan manusia. Eksperimen tersebut dipertanyakan nilai ilmiahnya.
Terlebih lagi, etika dan metode penelitian dianggap tidak manusiawi dan beretika.
3. Eksperimen schizophrenia UCLA
Pada 1983, pasangan psikolog dan psikiater dari UCLA Medical Center, Keith H. Nuechterlein & Michael Gitlin, mengadakan sebuah penelitian kontroversial mengenai skizofrenia.
Para peneliti UCLA tersebut ingin melihat proses kambuhnya skizofrenia dan mencari tahu apakah ada indikator untuk memprakirakan psikosis. Dengan tujuan penelitian ini, Keith dan Michael melibatkan ratusan orang dalam program ini dan menyita pengobatan skizofrenia mereka.
Meskipun berpengaruh besar pada penelitian skizofrenia dan mengungkap efek samping obat skizofrenia, penelitian tersebut dikritik tidak memberi perlindungan yang cukup kepada pasien saat gejala skizofrenia kambuh. Penelitian tersebut juga terkesan "menggantung" karena tidak memberitahu kapan pasien harus dirawat lagi.
Kasus ini semakin memburuk pada 1991 saat seorang mantan sukarelawan program UCLA, Antonio Lamadrid, bunuh diri dengan melompat dari lantai sembilan. Kematian Lamadrid disalahkan pada Keith dan Michael yang seharusnya mengawasi Lamadrid.
2. The Third Wave
"Mengapa peristiwa Holocaust bisa terjadi?"
Di masanya, pertanyaan ini adalah sesuatu yang tabu. Pada 1967 - 22 tahun setelah usainya PD II - Ron Jones, seorang guru di Cubberley High School yang terletak di Palo Alto, mendapat pertanyaan tersebut di satu kelas.
Daripada menjelaskannya, Jones berpikir akan lebih baik jika ditunjukkan saja. Maka terjadilah eksperimen yang dikenal dengan The Third Wave berikut ini
Pada hari pertama eksperimennya, Jones menciptakan nuansa otoriter di kelasnya seraya memposisikan dirinya sebagai seorang "pemimpin tertinggi". Namun, setelah satu minggu berjalan, paham fasisme ala-ala Jones meluas hingga satu sekolah.
Para murid menciptakan lambang dan gerakan hormat sendiri yang mirip dengan Nazi. Mereka kemudian diajarkan untuk patuh pada perintah Jones sehingga meninggalkan paham demokrasi. Bahkan, para murid bisa saling tuduh menuduh dan lapor satu sama lain.
Diberi nama "The Third Wave", ideologi Jones tersebut menyebar luas dari 30 murid menjadi 200. Di hari ke-4, Jones khawatir gerakan tersebut akan tidak terkendali; sehingga, ia menghentikan eksperimen tersebut.
Di akhir eksperimen pada hari ke-5, Jones kemudian menjawab pertanyaan seorang murid tersebut bahwa mereka telah membangkitkan perasaan supremasi yang sama seperti warga Jerman di bawah rezim Nazi.
Untungnya, para murid tidak menjadi sadis dan brutal. Cuplikan video berikut adalah apa yang terjadi pada "The Third Wave". Menariknya, video ini disutradarai oleh murid yang dulu tergabung dalam gerakan tersebut!
1. Insiden Bruce "David" Reimer
Setelah prosedur sunat yang gagal saat berumur enam bulan, seorang pria Kanada bernama Bruce Reimer harus menjalani prosedur "pengubahan identitas" yang "membunuhnya perlahan" bersama John Money, profesor psikologi medis dan pediatri Johns Hopkins University.
John adalah penggagas teori "netralitas gender". Eksperimen di luar akal terakhir ini juga dilakukan untuk membuktikan bahwa identitas gender adalah produk pengajaran dari usia dini.
Walaupun alat kelamin Reiner tidak dapat diperbaiki, John menyarankan Bruce untuk menjalani operasi kelamin dan membiasakan dirinya menjadi seorang perempuan. Pada 1967, Bruce memulai terapi yang membuatnya berubah menjadi "Brenda".
Meskipun program tersebut berjalan mulus selama sepuluh tahun, Bruce tidak bisa menganggap dirinya sebagai seorang wanita.
Alhasil, sejak berumur 14 tahun, ia hidup tetap menjadi seorang laki-laki. Dari Brenda, Bruce mengubah namanya menjadi David. Sebetulnya, ia dapat menjalani operasi kelamin untuk mengembalikan dirinya menjadi seorang laki-laki.
Program bersama John Money terbukti tidak efektif dan berakhir pada kegagalan yang amat fatal.
Pada 2004, Bruce "David" Reimer dikabarkan bunuh diri dikarenakan tekanan depresi ekstrim hasil dari eksperimen tersebut. Bersamaan dengan kematian David, nama John Money ikut tercemar dan teorinya ikut menghilang bersamanya.
Berikut rekaman Bruce dalam acara Oprah Winfrey Show pada 2000:
Itulah 8 eksperimen psikologis yang berakhir pada kegagalan bagi umat manusia dan penggagasnya. Karena manusia masa kini lebih waspada terhadap kemanusiaan, eksperimen-eksperimen keji dapat dicegah.
Karena eksperimen keji hanya menghilangkan rasa kemanusiaan, bukan memajukannya.
Karena eksperimen keji hanya menghilangkan rasa kemanusiaan, bukan memajukannya.
Buka juga :
0 Comments